Kamis, 10 Maret 2011

FANTASI CINTA

Seharusnya aku sudah terbiasa dengan semua ini dan tidak perlu merasa sakit hati. Bahkan seharusnya aku merasa senang karena selalu bisa duduk berhadapan denganmu. Tidak perlu lagi mencuri-curi pandangmu yang sedang mengaduk es teh. Ataupun mencari-cari di sudut mana kamu duduk. Seharusnya aku senang bukan? ">Tapi, melihatmu duduk di hadapanku dengan seorang siswi cantik yang bergelayut manja di lenganmu membuatku yang membuatku hatiku seperti dicabik-cabik. Di mataku, kau yang dulu ku puja sebagai pangeran cinta berubah jabatan menjadi pemain cinta. Bagaimana tidak?
Setelah beberapa bulan kau memainkan perasaanku dengan mengirimkan puisi-puisi cintamu setiap malam, kau memintaku untuk mencomblangkanmu dengan sahabatku sendiri. Ya, sahabatku sendiri. Siswi manis yang kini sedang ada di sampingmu. Lalu apa artinya semua pesan-pesan cinta yang kau kirim itu? >Mungkin aku yang salah karena terlalu berharap. Tapi, aku juga tidak salah jika memasukkan namamu ke dalam black list. Pertama kali bertemu di hari pertama masa orientasi, pertama kali bertukar pandang, pertama kali menyapa…. Semua kenangan pertama itu, sudah membuatku tidak mampu mengalihkan pandanganku dari mu. Seorang siswa murah senyum yang jenaka. Wajahmu yang manis juga menjadi nilai tambah bagimu. Aku juga tidak lupa saat kau meminta no handphoneku, membuatku yakin bahwa kau memiliki rasa yang sama. Kita mulai saling mengenal, bertukar cerita dan sisi pandang lewat sms-sms setiap malam. Walau di sekolah kita seperti orang yang tidak saling kenal. Pun saling menyapa tidak pernah. Semua itu membuatku semakin penasaran. Diam-diam aku menguntitmu di kantin. Dan selalu berhasil menemukanmu dengan es teh dan buku kecilmu. Kau selalu sibuk menulis sesuatu, dan itu memberiku keuntungan karena aku bisa melihatmu berlama-lama.
Sudah 43 hari semenjak hari MOS, kau mulai mengirimkan kata-kata cintamu. Tahukah kau, semua kata-katamu itu aku salin kembali, bahkan beberapa puisimu itu aku hapal. Walaupun kau selalu merahasiakan siapa sosok asli si penerima puisi itu. Seandainya aku punya keberanian, aku akan menyatakan perasaanku padamu. Tapi, aku tidak mau kau anggap sebagai gadis yang kecentilan. Pada tahun 2011, seorang wanita yang menyatakan perasaanya terlebih dahulu adalah hal yang wajar. Tapi tidak bagiku, dan mungkin kau juga punya pendapat yang sama denganku. Jadi aku tidak mau ambil resiko.
Iren, siswi yang manis. Sahabatku sejak 3 tahun yang lalu. Aku akui dia memang lebih cantik dariku. Ia lebih mudah beradaptasi, tidak sepertiku yang selalu terlihat jutek. Sebagai orang yang selalu dekat dengannya, aku maklum jika banyak orang yang minta disampaikan salamnya. Tapi, aku benar-benar terkejut saat kau memintaku untuk mencomblangkanmu dengannya. Hatiku seperti cermin yang dijatuhkan dari lantai ke-18 kemudian dilindas oleh truk. Benar-benar sakit. Namun, aku tetap saja mengangguk. Aku akan melakukan hal apapun yang bisa membuatmu bahagia. Mungkin inilah cinta. Selalu gila.
“Tapi, aku punya syarat,” bisikku lirih. Sekuat mungkin, aku berusaha menahan ekspresiku. Matamu membulat dan kau mengangguk.
“Comblangkan aku dengan Dion, kapten basket itu. Dia sahabatmu, kan?”
Sebenarnya, permintaan itu hanyalah untuk mengetahui apakah kau benar-benar mempunyai rasa pada Iren, atau hanya ingin membuatku cemburu. Tapi, kau malah tersenyum dan mengangguk. Tak ada ekspresi terkejut.
Semenjak itu, rasa cemburu setiap melihat senyum dan tawa ketika kau bersama Iren menorehkan warna hitam di hidupku. Kenapa kau tidak jujur saja dari awal kalau kau menyukai Iren, bukannya aku? Kenapa kau malah mempermainkan perasaanku?
Bersama Dion, aku merangkai hari baru. Kegiatanku bertambah satu, yaitu menjadi penyemangatnya saat ia berlaga di lapangan basket. Aku berusaha untuk bahagia bersamanya. Detik-detik kesakitan yang berjalan di sampingku mulai menyadarkanku agar menerima realita yang ada. Dan menghentikan semua fantasiku bersamamu.
Untuk yang kesekian kalinya, kita berhadapan lagi di meja ini. Bersama Dion dan Iren. Di depanmu, masih saja ada es teh yang kau aduk walaupun gulanya sudah rata. Namun, buku kecilmu sudah tidak ada. Tak ada lagi Tio yang asyik menulis. Kini kau asyik berbicara dengan Dion dan Iren. Aku sudah kehilanganmu, Tio. Aku sudah menghilangkan fantasiku untuk bisa bersamamu.


Part II
Aku harus memaksaku untuk bisa membiasakan diri dengan keadaan ini. Melihatmu duduk bersama Dion di depanku. Melihatmu tersenyum bersamanya. Melihatmu menatap matanya dengan antusias.
Mungkin ini semua salahku, menjadi pria pengecut. Mungkin bisa dibilang pecundang karena tidak berani mengungkapkan perasaanku kepadamu. Sehingga kau memilih untuk membuka hatimu untuk Dion.
Tahukah kau? Puisi-puisi yang kukirim itu untukmu. Semuanya untukmu. Setiap kali kau bertanya tentang siapa penerima puisi itu, rasa takut mulai menggerogotiku. Aku terlalu takut untuk mengungkapkan perasaanku.
Pertama kali bertemu, sikapmu yang ceria terlihat berbeda sekali dengan teman-temanmu yang lain. Kau tak pernah susah dengan penampilanmu ketika kau diharuskan menggunakan aksesoris aneh selama masa orientasi, tak seperti teman-temanmu yang lain. Namun, di lain sisi, kepatuhanmu terhadap Kakak-Kakak OSIS  membuatku yakin bahwa kau adalah gadis baik-baik.
Keinginanku untuk mengenalmu membuatku berani untuk berkenalan denganmu dan meminta nomor handphonemu. Kau ternyata yang easy going. Mudah di ajak sharing. Dan wawasanmu luas. Aku yakin di sekolahmu dulu, kau adalah juara.
Nia, Nia, Nia…
Matamu yang bersinar cerah itu membuatku selalu merindukanmu. Apalagi ketika melihatmu di kantin. Matamu bersinar seterang bintang. Aku selalu berharap tatapan itu untukku. Tujuanku ke kantin setiap hari adalah untuk menatap mata indahmu. Dan menuliskan kekagumanku dalam kata-kata. Tapi, semua yang kutulis tak pernah cukup untuk menggambarkan kekagumanku terhadapmu. Aku benar-benar menyukaimu.
Tetapi, keberanianku masih belum cukup untuk menyapamu di sekolah. Wajah yang selalu kau tundukkan saat berjalan seakan menegaskan bahwa hanya pria baik-baik yang boleh menyapamu, bukan aku. Seorang Nia yang menjadi anak kesayangan guru-guru berpasangan dengan Tio, orang yang standar? Hah, semua itu sudah menegaskan apa yang akan terjadi padaku jika aku memberanikan diri untuk menyatakan perasaanku.
Apalagi ketika kau menyanggupi permintaanku untuk dicomblangkan dengan Iren. Hatiku serasa hancur berkeping-keping. Jika waktu bisa diputar kembali, aku akan menarik kata-kataku itu. Permintaanku itu hanya untuk mengetesmu, apakah kau akan cemburu? Bukankah kata orang cemburu itu tanda cinta? Tapi, matamu benar-benar kosong. Tak ada sedikitpun tersirat rasa cemburu. Aku benar-benar kecewa. Ternyata PDKT yang kulakukan selama ini tak bisa menyentuh hatimu. Bahkan, kau meminta untuk dicomblangkan dengan Dion. Yah, mungkin dia memang orang yang tepat untukmu.
Berjalan bersama Iren dan melihatmu bersama Dion, semakin menambah bebanku. Ingin rasanya kuakhiri hubungan ini, tapi aku tahu kau dan Iren adalah sahabat dekat. Aku tidak ingin kau membenciku karena memutuskan Iren.
Mungkin sudah saatnya aku melepaskan fantasiku untuk bisa bersamamu. Melihatmu menjadi pemandu sorak bagi Dion adalah realita yang harus kuhadapi. Dan Iren? Ya, aku harus bertanggung jawab dengan keputusan yang kubuat.
Kini, aku memang bisa leluasa melihat matamu yang selalu bersinar seperti bintang itu. Kaku yang duduk di hadapanku. Tapi, aku berhak lagi untuk berharap kau menjadi milikku. Sosok Dion, menyadarkan bahwa aku tak boleh lagi berfantasi untuk bisa bersamamu.
Selamat tinggal, Nia…

0 komentar:

Posting Komentar